MENGENANG JALUR KERETA TASIKMALAYA-SINGAPARNA

MENGENANG JALUR KERETA TASIKMALAYA-SINGAPARNA

Di tengah Kota Tasikmalaya terdapat sebuah jalan sempit bernama Jalan Pasar Rel. Sehari-hari, jalan ini menjadi akses utama ke sebuah pasar tradisional, tempat pedagang menggelar dagangan dan pembeli lalu-lalang. Yang menarik, meski namanya menyebut “rel”, tak ada jejak kereta api di sana. Tak terdengar klakson lokomotif, tak terlihat jalur baja. Hanya keramaian pasar yang mendominasi suasana.

Ternyata, nama itu merujuk pada jalur kereta api lama yang pernah melintasi kawasan ini. Jalur Tasikmalaya–Singaparna dibangun pada awal abad ke-20 oleh perusahaan Staatsspoorwegen (SS) sebagai bagian dari upaya membuka akses ekonomi di Priangan Timur. Kini, sejarah itu nyaris hilang, tersisa hanya pada nama jalan dan ingatan yang mulai pudar.

Baca Juga: BANJAR – PANGANDARAN: Jalur Kereta Api yang Menawan

Jalur kereta api dibangun melewati Tasikmalaya pada akhir abad 19. Setelah sukses membangun jalur kereta Bogor–Cicalengka pada tahun 1884 dan menyambungkannya hingga Garut lima tahun kemudian, Staatsspoorwegen (SS), perusahaan kereta api milik pemerintah kolonial Belanda, berhasil melanjutkan ekspansinya. Salah satu proyek ambisiusnya adalah pembangunan jalur Warung Bandrek hingga Cilacap. Di sepanjang jalur itu, berdirilah Stasiun Tasikmalaya, sebagai salah satu titik penting dalam misi eksploitasi sumber daya di kawasan Priangan Timur dan Tenggara.

Sebuah warung di Singaparna, Tasikmalaya, tahun 1925. Koleksi KITLV.

Wilayah Priangan bagian timur memang terkenal subur, dengan potensi ekonomi yang besar. Sayangnya, hingga awal abad ke-20, daerah ini masih terisolasi. Saat itu, hasil panen padi mulai meningkat dua kali lipat, terutama karena para petani berhasil mengatasi serangan hama. Selain padi, Tasikmalaya khususnya bagian Selatan juga menjadi penghasil kelapa dan karet[1].

Melihat potensi tersebut, beberapa perusahaan swasta tertarik membangun jalur kereta dari Tasikmalaya ke arah barat. Sejak 1889 hingga awal 1900-an, sejumlah izin diajukan untuk menjangkau kawasan seperti Singaparna dan Mangunreja. Sejarawan Agus Mulyana mencatat bahwa pada tahun 1900, terdapat tujuh perkebunan swasta di Singaparna—antara lain Wangunarja, Jayawati, dan Sukajadi I–V—yang menghasilkan komoditas unggulan seperti teh, kopi, dan kina[2].

Namun, rencana-rencana swasta itu tak kunjung terwujud. Akhirnya, atas desakan pemerintah setempat, Staatsspoorwegen turun tangan membangun jalurnya sendiri. Tujuannya jelas: memperlancar distribusi hasil perkebunan ke pelabuhan besar seperti Batavia dan Cilacap.

Sebelum ada kereta, komoditas seperti kopi dari Priangan Timur biasanya diangkut lewat sungai menuju Cilacap. Sejarawan Susanto Zuhdi dalam bukunya *Cilacap 1830–1942* mencatat bahwa sungai Ci Tandui menjadi jalur utama pengangkutan kopi dari Banjar menuju pesisir selatan Jawa[3].

Pekerjaan fisik jalur Tasikmalaya–Singaparna dimulai sekitar Maret 1910, dengan panjang total 17,8 kilometer. Sebenarnya, ada rencana memperpanjang jalur ini hingga Mangunreja dan Cibeuti. Sayangnya, biaya pembangunan jembatan di atas Sungai Ci Wulan yang terlalu tinggi membuat proyek lanjutan ini dibatalkan[4].

Peta Tasikmalaya tahun 1919, dengan stasiun dan jalur kereta api menuju Singaparna. Koleksi Leiden University Libraries.

Sepanjang jalur pendek ini, terdapat 14 titik pemberhentian, terdiri atas 2 stasiun dan 12 halte. Dua stasiun utama adalah Cibanjaran dan Singaparna. Stasiun Cibanjaran memiliki jalur persilangan untuk kereta berpapasan, sementara Stasiun Singaparna dilengkapi pompa air untuk mengisi lokomotif uap.

Beberapa nama halte yang tercatat dalam jalur ini antara lain Tasikmalaya Alun-alun, Pasar, Cihideung, Padayungan, Cisambong, Mangkubumi, Cipari, Cikunir, Barengkok, Cintaraja, Barolong, dan Sukaseneng. Jika disandingkan dengan peta kota Tasikmalaya saat ini, jalur tersebut kira-kira melewati Jl. Dr. Sukarjo, menyusuri Masjid Agung, berbelok ke Jl. Yudanegara, melintasi Jl. Pasar Wetan hingga Jl. Cihideung Balong, lalu berlanjut ke arah Padayungan sebelum akhirnya membelok ke barat menuju Singaparna.

Baca Juga: BANDUNG-CIWIDEY: Cerita Masa Lalu dan Harapan Masa Depan

Jalur ini dilayani oleh empat rangkaian kereta api, terdiri dari gerbong kelas dua dan tiga serta gerbong barang. Sebanyak 150 gerbong baru pun disiapkan sebelum jalur diresmikan untuk mengangkut hasil bumi dari kawasan yang dilalui[5].

Hari peresmian berlangsung meriah: 1 Juni 1911. Sebuah kereta khusus diberangkatkan dari Stasiun Tasikmalaya menuju Singaparna, membawa pejabat pemerintah dan perwakilan SS. Kereta itu dilengkapi gerbong direksi, gerbong makan, dan gerbong penumpang dari berbagai kelas. Sepanjang perjalanan, rombongan disambut hangat oleh warga yang berkumpul di pinggir rel. Setibanya di Singaparna sekitar pukul 09.30, para undangan disuguhi pertunjukan gamelan dan orkestra biola. Masyarakat umum pun boleh naik kereta secara cuma-cuma di hari pembukaan. Malam harinya, dua pertunjukan wayang digelar untuk memeriahkan suasana[6].

Peta Singaparna tahun 1925, dengan kota, stasiun, dan jalur kereta api dari Tasikmalaya. Koleksi Leiden University Libraries.

Dalam acara itu, berbagai sambutan disampaikan. Pihak SS memuji kualitas pembangunan jalur, dan menyebut bahwa inisiatif awal proyek ini datang dari mantan Asisten Residen Sukapura. Sementara Residen Priangan menekankan pentingnya jalur ini bagi perekonomian, sambil menyebut Singaparna sebagai pusat industri dan pertanian yang menjanjikan[7].

Biaya pembangunan jalur ini terbilang murah, yakni 610.248 gulden. Menurut Agus Mulyana, angka itu kecil karena proyek ini menggunakan bahan-bahan bekas dari jalur Batavia–Karawang, terutama untuk konstruksi jembatan dan bangunan atas[8].

Meski pendek, jalur ini terbukti efektif. Di bulan pertama operasionalnya (Juni 1911), pendapatan mencapai 3.675 Gulden atau sekitar 6,88 Gulden per km per hari. Setahun kemudian, angkanya naik menjadi 4.360 Gulden, atau 8,1 Gulden per km per hari[9].

Sayangnya, kisah ini tak berakhir indah. Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942, jalur ini dibongkar untuk keperluan militer, seperti halnya jalur Rancaekek–Tanjungsari dan Dayeuhkolot–Majalaya. Usaha menghidupkan kembali jalur ini pasca kemerdekaan hanya berhasil sejauh Stasiun Cibanjaran, itu pun pada tahun 1948 saat Belanda berusaha menguasai kembali wilayah Indonesia[10].

Baca Juga: JEMBATAN CINCIN CIKUDA, PENGHEMATAN ALA SS

Hari ini, jejak jalur kereta Tasikmalaya–Singaparna nyaris lenyap ditelan waktu. Rel-rel telah raib, stasiun-stasiunnya menghilang, dan ingatan tentang itu perlahan memudar. Namun, nama seperti Jalan Pasar Rel menjadi penanda yang masih bertahan, mengingatkan kita bahwa Kota Tasikmalaya pernah dilintasi kereta. Kadang, hanya lewat nama jalan, sejarah mengendap dan menunggu untuk ditemukan kembali.

Gambar: Ilustrasi Stasiun Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya.

Sumber:
[1] Uit Tasikmelaja. De Preanger-bode. Edisi 30-10-1910.

[2] Mulyana, Agus. 2017. Sejarah Kereta Api di Priangan. Yogyakarta: Ombak. Halaman 129

[3] Zuhdi, Susanto. 2002. Cilacap 1830–1942: Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Halaman 32.

[4] Mulyana, Agus. 2017. Sejarah Kereta Api di Priangan. Yogyakarta: Ombak. Halaman 130

[5] Goederenwagens. De Preanger-bode. Edisi 17 September1910

[6] Tasikmelaja-Singaparna. De Preanger-bode. Edisi 02 Juni 1911

[7] Tasikmelaja-Singaparna. De Preanger-bode. Edisi 02 Juni 1911

[8] Mulyana, Agus. 2017. Sejarah Kereta Api di Priangan. Yogyakarta: Ombak. Halaman 131

[9] S. S.- Opbrengsten. De Preanger-bode. Edisi 13Juli 1912

[10] Tasikmlaja Singaparna. Het Dagblad. Edisi 8 April 1948.

Leave a Reply

Your email address will not be published.