Sebelum diperluas ke arah utara di tahun 1990-an, bangunan stasiun bagian selatan menjadi satu-satunya pusat aktifitas Stasiun Bandung. Semua penumpang, baik yang akan berangkat maupun tiba, baik yang menumpang kereta api lokal ataupun luar kota, menggunakan bangunan stasiun bagian selatan. Bangunan stasiun ini berhadapan dengan terminal angkutan dalam kota dan pertemuan jalan Stasiun Barat dan Jalan Stasiun Timur.
Pembangunan bangunan dan tempat parkir di bagian utara Stasiun Bandung mengurangi beban bangunan stasiun selatan. Bangunan bagian utara akhirnya difokuskan untuk melayani penumpang kereta api jarak jauh dan kelas eksekutif dan bisnis. Sedangkan bangunan stasiun bagian selatan, melayani penumpang kereta api ekonomi dan lokal, dengan hanya menyediakan satu tempat check in untuk kereta api kelas yang lebih tinggi.
Stasiun Bandung dibuka pada pada tahun 1884 seiring dengan dibukanya jalur antara Cianjur-Bandung. Pembangunan ini merupakan bagian dari pembangunan jalur kereta api di Priangan yang menghubungkan Bogor dan Cicalengka.
Pembangunan stasiun yang berlokasi di sebelah barat kawasan Kebon Jukut ini dimulai sekitar tahun 1883. Dalam berita bulan Agustus 1883, cikal bakal bangunan stasiun masih berupa pondasi dengan tanah yang sudah diratakan[1].
Dengan pembangunan yang dilakukan siang dan malam, akhirnya Stasiun Bandung dibuka tanggal 17 Mei 1884. Peresmian stasiun ini dilakukan meriah karena berbarengan dengan pembukaan jalur Cianjur-Bandung[2].
Kehadiran kereta api menjadi faktor penting dalam perkembangan kota Bandung di akhir abad 19. Keberadaan sarana transportasi ini menjadikan ibukota Priangan ini menjadi kota yang modern. Kota pedalaman nan terpencil ini menjadi kota penting dan sejajar dengan kota-kota lain di Pulau Jawa[3].
Seiring dengan perkembangan kota dan bertambahnya jumlah penumpang, Stasiun Bandung mengalami dua kali perubahan, yakni di tahun 1909 dan 1928. Renovasi tahun 1909 salah satunya didorong oleh meningkatnya jumlah penumpang yang datang dan pergi di Stasiun Bandung. Dalam Nota Betreffende de Plannen tot Ombouw van den Spoorweg ter Hoofdplaats Bandoeng, terjadi lonjakan jumlah penumpang sebanyak hampir 8 kali lipat di Stasiun Bandung, selama medio tahun 1894-1904[4].
Salah satu penyebab membludaknya penumpang kereta api ini adalah adanya pembukaan jalur baru antara Bandung-Batavia melewati Purwakarta. Jalur yang dibuka tahun 1906 ini membuat jarak tempuh antara kedua kota menjadi lebih cepat.
Baja Juga: Vlugge Vier, Kereta Cepat Bandung-Batavia
Akibatnya, stasiun lama dianggap terlalu kecil untuk menampung banyak penumpang. Belum lagi, Orang Eropa memandang bahwa kelakuan orang pribumi sangat menganggu, terutama setelah tiket peron diberlakukan. Mereka bersama para pengantarnya selalu datang lebih awal sehingga memadati ruang depan. Selain itu, bagian bagasi terlalu berdekatan dengan loket tiket, sehingga selalu menciptakan kepadatan.
Di stasiun yang baru, ruang tunggu kelas tiga akan dipindahkan ke sisi kanan bangunan, atau sisi kiri jika dilihat dari jalan. Sementara ruang bagasi akan dipindahkan ke bagian depan[5].
Di awal tahun 1920-an, perkembangan Kota Bandung kembali mengubah wajah perkeretapian di dalam kota. Wacana sebagai calon ibukota Hindia Belanda pengganti Batavia membuat pemerintah melakukan banyak pembangunan dan pembenahan di Kota Bandung. Sektor transportasi kereta api menjadi salah satu sektor yang dibenahi. Seperti misalnya pemasangan jalur ganda antara Kiaracondong dan Padalarang, pembangunan Viaduct Pasirkaliki, dan pembangunan Stasiun Bandung Gudang.
Renovasi bangunan Stasiun Bandung saat itu didorong oleh anggapan bahwa bangunan stasiun ini sudah dianggap tua, usang, dan ketinggalan jaman. Apalagi, Bandung saat itu sudah terkenal sebagai kota dengan bangunan-bangunan modernnya[6].
Rencana untuk merenovasi stasiun akhirnya terwujud menjelang akhir 1920-an. Menurut Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, renovasi Stasiun Bandung dimulai pada tahun 1927[7]. Dalam salah satu artikel di koran De Locomotief tahun 1929, pengerjaan renovasi di Stasiun Bandung masih berlangsung[8].
Dalam buku “Spoorwegstation op Java”, de Jong memaparkan bangunan Stasiun Bandung memakai gaya Art Deco dengan memiliki fasad modern dengan jendela kaca patri biru di atas pintu utama. Gaya bangunan ini diduga terinspirasi oleh bentuk bangunan stasiun di Naar-den-Bussum tahun 1925[9].
Baca juga: Monumen Lampu di Stasiun Bandung, Sebuah Hadiah Untuk SS
Salah satu aspek yang diperbaiki dalam renovasi ini adalah aspek cahaya. Tidak layaknya penerangan yang digunakan saat penggunaan stasiun lama, diperbaiki dan ditingkatkan menjadi pencahayaan modern. Menurut H. H. Fronczek,Kepala teknik urusan listrik di SS, selain digunakan untuk kepentingan penumpang dan operasional stasiun pada malam hari, dukungan pencahayaan ini sangat ramah untuk lalu lintas sekitar stasiun[10].
Dengan dukungan pencahayaan yang modern, Stasiun Bandung mendapat gelar sebagai stasiun dengan pencahayaan terbaik di seluruh Hindia Belanda[11].
[1] ”Nederlandsch-Indie”. Soerabaijasch Handelsblad. Edisi 11 Agustus 1883
[2] Mulyana, Agus. 2017. Sejarah Kereta Api di Priangan. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Hal. 89-90.
[3] “Nota Betreffende de Plannen tot Ombouw van den Spoorweg ter Hoofdplaats Bandoeng“. 1919. Bandoeng: N. V. Mij. Vorkink. Hal 5.
[4] “Nota Betreffende de Plannen tot Ombouw van den Spoorweg ter Hoofdplaats Bandoeng“. 1919. Bandoeng: N. V. Mij. Vorkink. Hal 5.
[5] “Ons Station“. De Preanger-Bode. Edisi 20 Maret 1909
[6] “Verbouwing van Het Station te Bandoeng” . Spoor- en tramwegen; tijdschrift voor het spoor- en tramwegwezen in Nederland en Indie¨, jrg 1, 1928, no. 2. Edisi 24-07-1928
[7] “Stations-verbouwing“. Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie. Edisi 10 Juni 1927.
[8] “Oordeel der Algemeene Rekenkamer“. De locomotief. Edisi 24 Oktober 1929.
[9] De Jong, Michiel van Ballegoijen. 1993. Spoorwegstation op Java. Amsterdam: De Bataafsche Leeuw. Hal 131.
[10] Fronczek, H. H. 1931. De nieuwe Verlichting in en om het Station Bandoeng. Spoor- en Tramwegen, 4e jaargang, 2e Halfjaar No. 12. 8 Desember 1931.
[11] De Jong, Michiel van Ballegoijen. 1993. Spoorwegstation op Java. Amsterdam: De Bataafsche Leeuw. Hal 131.
Leave a Reply