Pada 18 September 1921, suasana Jalan Dago Bandung tampak semarak. Mobil-mobil silih berganti datang ke sebuah bangunan bernomor 80[1], menurunkan tamu undangan yang hendak menghadiri sebuah resepsi penting. Teras bangunan itu penuh dengan karangan bunga beraneka bentuk dan warna[2]. Hari itu, Kota Bandung resmi memiliki rumah sakit baru bernama Roomsch-Katholieke Ziekenverpleging Sint Borromeus.
Rumah sakit ini menambah jumlah fasilitas kesehatan di Bandung. Saat itu, sudah berdiri sebuah rumah sakit di kawasan Cilentah, Bandung Selatan, sementara pemerintah tengah membangun rumah sakit lain di Rancabadak—yang kelak dikenal sebagai Gemeente Ziekenhuis Juliana dan kini bernama Rumah Sakit Hasan Sadikin.
Baca Juga: Sebuah Hadiah Ulang Tahun: Dari Bandung Untuk Juliana
Pendirian RS St. Borromeus berawal dari berdirinya perkumpulan R. K. Sint Ziekenverpleging Borromeus pada April 1921. Perkumpulan ini dipimpin oleh Cornelius Johannes de Groot, seorang ahli elektronik yang juga perintis jaringan radio Malabar di Bandung. Susunan pengurus lainnya antara lain Dr. W. P. Thijdsen (wakil presiden), Pastor P. J. W. Muller (sekretaris), N. J. Orie (wakil sekretaris), W. L. A. van Galen (bendahara), serta C. M. van Oyen, W. J. F. de Rijck van der Gracht, G. H. M. Vierling, dan G. Th. Vonk sebagai anggota. Tugas utama perkumpulan ini adalah menggalang modal untuk mendirikan rumah sakit di Bandung[3].

Selain mengumpulkan donasi, mereka juga menentukan lokasi rumah sakit. Pilihan jatuh pada lahan milik Poliklinik Insulinde milik dr. Merz di Jalan Dago. Klinik tersebut direnovasi menjadi rumah sakit, namun dr. Merz tetap diperbolehkan menjalankan praktik bedahnya di sana[4].
Meski demikian, sempat muncul keraguan: apakah Bandung benar-benar membutuhkan rumah sakit baru? Keraguan itu terjawab saat peresmian. Dalam pidatonya, Dr. De Groot menyatakan bahwa banyaknya donatur dan jumlah sumbangan yang terkumpul justru membuktikan kebutuhan tersebut. Menurut para pendukung, alasannya sederhana: jumlah orang sakit masih banyak, dan rumah sakit tidak akan pernah terlalu banyak[5].
Baca Juga: C. J. DE GROOT: Kematian yang Misterius
Untuk operasional, perkumpulan meminta bantuan Suster Cinta Kasih[6], yang sebelumnya mengelola RS St. Carolus di Batavia[7]. Pada pertengahan 1921, enam suster datang dari Batavia ke Bandung dalam tiga kelompok: Suster Crispine dan Judith (30 Juli), Suster Gaudentia dan Ludolpha (2 Agustus), serta Suster Ambrosine dan Lioba (15 Agustus). Mereka tiba ketika bangunan rumah sakit masih dalam tahap pembangunan, sehingga belum mendapat fasilitas memadai[8].
Kehadiran para suster sempat menimbulkan kesan bahwa RS Borromeus hanya untuk kalangan Katolik. Namun, harian De Preanger Bode menegaskan kembali bahwa rumah sakit ini terbuka bagi siapa saja, tanpa membedakan golongan[9].
Saat resmi dibuka pada 18 September 1921, RS St. Borromeus memiliki fasilitas sederhana namun teratur: ruang rawat dengan kapasitas 18 pasien, ruang operasi, serta fasilitas sinar-X. Di halaman belakang berdiri sebuah rumah perawat berbahan kayu, sederhana tetapi tetap indah dipandang[10].

Seiring waktu, RS Borromeus mendapat kepercayaan masyarakat Bandung. Hampir setiap tahun dilakukan perluasan karena keterbatasan ruang. Rumah sakit ini juga melayani masyarakat kurang mampu, misalnya lewat program operasi dan perawatan gratis bagi mereka yang berpenghasilan di bawah 250 gulden per bulan[11].
Salah satu gebrakan RS Borromeus untuk membantu masyarakat kurang mampu adalah membuat program operasi dan perawatan tanpa berbayar bagi masyarakat yang memiliki penghasilan di bawah 250 Gulden per bulan[12].
Dalam 10 tahun pertama, sejumlah renovasi dan penambahan fasilitas dilakukan. Salah satunya adalah pembangunan Paviliun St. Joseph di sudut Dagoweg dan Pottersweg (kini Jalan Ir. H. Djuanda dan Jalan Hasanuddin). Paviliun ini memiliki ruangan luas dan beranda dengan pemandangan pegunungan Bandung, tempat pasien dapat menikmati matahari terbit dan terbenam[13].
Kini, lebih dari seabad kemudian, RS St. Borromeus tetap berdiri di Jalan Ir. H. Djuanda, Bandung. RS ini menjadi saksi perjalanan Bandung dari masa kolonial hingga kota modern, sekaligus bagian penting dari sejarah pelayanan kesehatan di Indonesia.
Referensi:
[1] DE R. K. ZIEKENVERPLEGING ST. BORROMEUS. Java-post. Edisi 23 September 1921.
[2] DE R. K. ZIEKENVERPLEGING ST. BORROMEUS. Java-post. Edisi 23 September 1921.
[3] R. K. SINT ZIEKENVERPLEGING BORROMEUS. De Preanger-bode. Edisi 16 April 1921.
[4] DE R. K. ZIEKENVERPLEGING ST. BORROMEUS. Java-post. Edisi 23 September 1921.
[5] R.K. ZIEKENVERPLEGING ST. BORROMEUS. De Preanger-bode. Edisi 19 September 1921.
[6] Menurut Budiarti dkk dalam buku The Blue Lantern Legacy and Beyond, Liefdezusters van de Heilige Carolus Borromeus merupakan Kongregasi Suster-suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeus yang berbasis di Maastricht. (Budiarti, Maria Elly, dkk. 2021. The Blue Lantern Legacy and Beyond. Bandung: Unpar Press.)
[7] R.K. Ziekenverpleging St. BORROMEUS. AID De Preangerbode. Edisi 1 April 1931.
[8] Gorris, G. 1937. Gedenkboek bij het Honderd-Jarig Bestaan der Liefdezusters van den H. Carolus Borromeus. Maastricht: Onder de Bogen. Halaman 361.
[9] VERKEERD DENKBEELD. De Preanger Bode. Edisi 30 Juli 1921.
[10] R.K. ZIEKENVERPLEGING ST. BORROMEUS. De Preanger-bode. Edisi 19 September 1921.
[11] R.K. Ziekenverpleging St. BORROMEUS. AID De Preangerbode. Edisi 1 April 1931.
[12] R. K. Ziekenverpleging Sint-Borromeus. De Preanger Bode. Edisi 19 Oktober 1921.
[13] R.K. Ziekenverpleging St. BORROMEUS. AID De Preangerbode. Edisi 1 April 1931.
Leave a Reply